The Road to Get a Ph.D. in a Good US University

Daniar H. Kurniawan
5 min readFeb 13, 2022

--

Salah satu indikator penting dalam menilai kemajuan sebuah bangsa adalah kualitas riset dari bangsa tersebut. Kegiatan ini umumnya terjadi di dalam perguruan tinggi, yaitu tempat pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dilakukan. Indonesia memiliki banyak perguruan tinggi yang kualitasnya tidak perlu diragukan lagi. Namun, mengapa kualitas riset di Indonesia masih tampak jauh tertinggal jika dibandingkan dengan banyak negara lainnya? Dapat kita lihat bagaimana negara-negara lain seperti China, Korea Selatan, Jepang, India, dan Amerika Serikat berkembang pesat dalam penelitian mereka. Sementara itu, Indonesia masih harus menempuh perjalanan yang sangat panjang untuk dapat bersaing dengan negara-negara tersebut.

Tidak dapat dipungkiri, kualitas pendidikan lanjut di Indonesia, khususnya jenjang S3, masih jauh tertinggal. Oleh karena itu, opsi lainnya adalah mencoba untuk mengejar pendidikan ke luar negeri. Namun karena persiapan yang minim, sangat sedikit mahasiswa Indonesia yang mampu melanjutkan studi S3 di universitas ternama dunia, seperti di Amerika Serikat. Kebanyakan mahasiswa akhirnya hanya mencapai pendidikan di jenjang S2 yang umumnya tidak melibatkan kegiatan riset. Padahal faktanya, mahasiswa internasional sangat dibutuhkan dalam perkembangan penelitian, khususnya di Amerika Serikat. Perlu diketahui bahwa setidaknya 50% dari mahasiswa S3 di Amerika Serikat adalah mahasiswa internasional. Bahkan di bidang teknik, mayoritas mahasiswa berasal dari luar Amerika Serikat. Namun, dikarenakan nama-nama universitas ternama di Indonesia tidak dikenal di universitas-universitas ternama Amerika Serikat, maka sangat sedikit mahasiswa yang diterima dalam jenjang pendidikan S3, dimana calon mahasiswa Indonesia juga bersaing dengan calon mahasiswa dari negara lainnya, seperti dari China, Korea Selatan, Jepang, India dan negara-negara maju lainnya.

Akar permasalahan dari hal ini adalah pola pikir. Saat kita berbicara mengenai studi S3 pada mahasiswa di Indonesia, jawaban pertama yang akan kita dengar adalah:

“Ujung dari studi S3 paling hanya bisa jadi dosen”.

Padahal hal tersebut sama sekali tidak tepat. Banyak sekali mahasiswa lulusan S3 di Amerika Serikat yang bekerja di lembaga-lembaga riset ternama atau bahkan membuka bisnis start-up. Perlu diketahui, 7% dari karyawan Google adalah mereka yang telah memperoleh gelar S3.

Jawaban lain yang umum kita dengar adalah,

“Kuliah di luar negeri mahal. Kita perlu mendapatkan beasiswa dulu”.

Hal ini mungkin benar jika kita bertujuan untuk melanjutkan studi ke jenjang S2, tetapi tidak demikian untuk studi S3, terutama di Amerika Serikat. Faktanya, lembaga-lembaga pemerintahan seperti National Science Foundation (NSF), Defense Advanced Research Project Agency (DARPA), dan Computer and Information Science and Engineering (CISE) setiap tahunnya memiliki milyaran dollar Amerika untuk mendanai riset-riset di perguruan tinggi Amerika Serikat. Dan salah satu bagian terbesar saluran dana tersebut diberikan bagi orang-orang yang akan melanjutkan studi S3. Itu sebabnya, saat seseorang diterima sebagai mahasiswa S3 di perguruan tinggi di Amerika Serikat, maka seluruh biaya pendidikan dari awal hingga akhir studi mahasiswa tersebut akan sepenuhnya ditanggung oleh universitas yang menerimanya. Bahkan mahasiswa tersebut juga akan mendapatkan uang saku ( stipend) untuk biaya hidupnya di Amerika Serikat yang nilainya dapat mencapai lebih dari $3000 per bulan. Itulah sebabnya, untuk menjadi mahasiswa S3 di Amerika Serikat tidak dibutuhkan beasiswa dari lembaga pemerintah Indonesia atau lembaga-lembaga pemberi beasiswa lainnya, yang ujungnya seringkali mengikat mahasiswa yang diberi beasiswa dengan kontrak kerja dan lain-lain.

Bicara mengenai uang saku bagi mahasiswa S3 di Amerika Serikat, rata-rata mahasiswa S3 di AS mendapat tunjangan dari kampus dengan bekerja sebagai asisten pengajar / Teaching Assistant (TA) atau sebagai asisten riset / Research Assistant (RA). TA bertanggung jawab membantu Professor dalam pembelajaran di kelas, seperti mendesain tugas mingguan, menilai tugas siswa, memberikan kelas tambahan, dan diskusi di luar jam kelas. Selain itu, mahasiswa bisa menemui TA untuk bertanya mengenai materi kuliah yang belum dimengerti di jam-jam yang telah ditentukan. Setiap minggu, seorang TA harus menyisihkan waktu sekitar 15 jam untuk tugas-tugas ini. Sedangkan seorang RA bertugas membantu Professor pembimbingnya dalam melaksanakan penelitian. Tugas RA meliputi membuat desain eksperimen dan mengeksekusinya, mengumpulkan data, menganalisa, menyusun publikasi, dan lain-lain.

Setiap semester / kuarter, mahasiswa S3 dapat bergantian ditugaskan menjadi TA atau RA. Mahasiswa di tahun awal biasanya akan lebih sering ditugaskan menjadi TA, karena dia masih harus mengambil kelas tingkat lanjut dan mengasah kemampuan risetnya. Namun, seiring waktu, semua mahasiswa S3 akan ditugaskan menjadi RA dan mulai menghasikan publikasi dari penelitiannya.

Fakta-fakta seperti ini sudah diketahui oleh universitas-universitas di negara-negara seperti China, India, Korea Selatan, Jepang, dan lain-lain, namun sangat disayangkan, sangat sedikit orang di universitas Indonesia yang mengetahui hal itu, baik pendidik maupun mahasiswa. Sementara orang-orang terbaik dari negara-negara tersebut berlomba-lomba untuk dapat melanjutkan studi ke universitas top di Amerika Serikat. Namun karena kurangnya pengetahuan, mahasiswa-mahasiswa dari Indonesia justru menuju ke universitas yang kurang terkenal di China, Korea Selatan, Jepang dan Taiwan karena tergiur oleh iming-iming beasiswa. Padahal, alasan utama negara-negara tersebut mau menawarkan beasiswa pada mahasiswa di Indonesia adalah karena mayoritas mahasiswa terbaik dari negeri mereka sendiri menuju ke universitas ternama di Amerika Serikat.

Menghadiri Konferensi SoCC di San Diego, California

Persiapan Untuk Studi Lanjut S3 di Universitas Ternama Dunia di Amerika Serikat

Jadi, apa yang sebenarnya yang perlu diketahui dan dibutuhkan untuk dapat melanjutkan studi S3 di universitas ternama di Amerika Serikat. Sekali lagi, bukannya kita perlu mencari sumber beasiswa, tapi kita perlu memahami proses pendaftaran studi lanjut ke Amerika Serikat dan bagaimana kita dapat mempersiapkan diri untuk pendaftaran tersebut.

Satu kekurangan yang murid-murid Indonesia punya adalah mereka berpikir nilai (GPA/IP) baik saja sudah cukup, atau magang/internship sudah cukup. Tapi apakah memiliki nilai-nilai yang baik untuk segala tes dan S1 anda, sudah cukup? Sayangnya, tidak. Setiap tahun, Admission Committee akan menerima ratusan berkas aplikasi. Seluruh ratusan pendaftar ini tentunya juga memiliki nilai yang sama baiknya dengan anda, punya resume dengan keahlian yang sama dengan anda, dan mungkin prestasi lokal yang tidak kalah baik dari anda. Jadi sekedar menyebutkan keahlian, pengalaman, sertifikasi, atau prestasi lokal saja tidaklah cukup. Anda harus memastikan bahwa resume dan SOP anda menonjol di antara pendaftar lainnya.

Untuk itulah, hal penting lain yang dibutuhkan adalah pengalaman melakukan riset yang dibuktikan dengan publikasi dalam konferensi atau jurnal ternama dunia. Ini adalah salah satu masalah utama bagi calon mahasiswa dari Indonesia. Problem utamanya adalah tidak banyak universitas di Indonesia yang fokus mengumpulkan hasil risetnya di konferensi atau jurnal dunia, mungkin karena alasan “kemungkinan gagasan riset diterima sangatlah sedikit”. Hal ini tentu saja wajar, karena persaingan yang sangat tinggi. Akibatnya, mahasiswa-mahasiswa Indonesia sangat jarang memiliki pengalaman riset yang baik dan pada akhirnya mereka kalah bersaing dengan mahasiswa-mahasiswa dari negara lain. Hal ini dapat dilihat ketika kita membandingkan CV atau esai yang dibuat mahasiswa Indonesia dengan negara lain.

Jadi bagaimana kita dapat mempersiapkan pengalaman riset dan membuat resume kita bersaing dengan pendaftar dari negara-negara lain? Kita bisa menghubungi (via email) professor di Amerika dan menawarkan diri untuk membantu riset mereka. Pada umumnya, riset ini dilakukan secara online dan berdurasi sekitar 2 tahun. Kami menjalani program riset ini di masa S1, tepatnya di tahun ke-3 dan ke-4. Melalui jalan itulah, kami mendapatkan pengalaman riset yang dapat menjadi bekal berkualitas, sehingga pada saat kami mendaftarkan diri untuk mengikuti program S3, kami dapat bersaing dengan calon mahasiswa dari negara lain.

Ditulis/diedit oleh: Daniar beserta beberapa mahasiswa Indonesia yang mengambil PhD di Amerika.

--

--